Minggu, 06 Februari 2011

Suplemen # 6 : MENGHITUNG PELUANG & RESIKO

( 7 Suplemen di 11 Tahun PKPU ; Bersinergi & Mengabdi)

Tidaklah mungkin bagi matahari mengejar bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang . masing-masing beredar pada garis edarnya” (QS. Yasin (36):40). 

Subhanallah. Sungguh luar biasa alam semesta ini Allah ciptakan. Di bentangnya yang maha luas, terdapat siang dan malam, terdapat panas dan dingin, terdapat keseimbangan yang luar biasa antara satu bagian  dengan bagian yang lain. Dan masing-masing bagian sungguh tidak akan pernah mendahului yang lainnya. Semuanya tunduk dalam sebuah Maha-keteraturan yang rumit dan detail. Bahkan sehelai daun yang gugurpun, ia harus memenuhi seluruh persyaratan tertentu sehingga ia akhirnya harus luruh dan menanggalkan dirinya dari tempatnya semula. Tak ada yang tiba-tiba di alam semesta. Saat yang sama tak ada pula ketidaksengajaan dan sebuah kebetulan. Semuanya bergerak dan bergeser serta berpindah dalam sebuah aturan yang melingkupinya.

Begitu pula dalam kehidupan manusia, semuanya berjalan dalam lingkup dimensi sunnah kauniyah-Nya. Tak ada yang hidup tiba-tiba, begitu pula tak kan pernah ada yang mati tanpa ketentuan dari-Nya. Hidup walau seakan merdeka dari garis-garis yang ditetapkan-Nya, sesungguhnya telah demikian jelas arah dan tujuannya. Kita dilahirkan untuk beribadah dan menyembah-Nya, diminta memenuhi bumi menjadi hamba dan khalifah-Nya dan pasti akan kembali menghadap-Nya dengan segala amal kebaikan atau keburukan selama kita “berkeliaran” di luas dunia-Nya. Apalagi yang belum jelas dalam hidup?.

Sehebat-hebatnya manusia, ia tak akan bisa keluar dari takdir-Nya. Salah satu bukti yang amat transparan dari hal ini adalah, kita tidak ada sedikitpun kemampuan untuk menerima atau menolak akan dilahirkan di orang tua macam apa, di mana dan kapan? Semuanya berjalan demikian apa adanya. Mengikuti sebuah ketentuan yang mutlak tanpa ada sedikitpun konfirmasi pada kita sebelumnya. Begitupun dengan kematian. Tak ada seorang-pun di dunia yang sanggung meramalkan kepastian seseorang akan mengalami kematian. Bahkan seseorang yang telah divonis dokter karena penyakitnya, hanya bisa dilekati dengan “sebuah asumsi”.  Nyatanya banyak orang yang justeru lebih panjang usianya dibanding dengan vonis yang ia terima dari dokter. Jadi kelahiran dan kematian sungguh merupakan sebuah nasehat terbesar bagi kehidupan manusia.

Dalam konteks ini, kehidupan laksana sebuah perjalanan panjang. Dan layaknya sebuah perjalanan, kita harus tahu dengan pasti kemana perjalanan ini akan mengarah. Dengan mengetahui tujuan yang pasti, sepahit-pahitnya perjalanan yang akan kita lewati, tidak akan menghancurkan seluruh kekuatan yang dimiliki. Tubuh boleh di dera penat dan lelah, bekal boleh habis tak tersisa tapi bukankah kita masih punya tujuan. Dengan tujuan yang jelas, kita mungkin akan berhenti untuk menyegarkan kembali seluruh tubuh dari kelelahan dan kepenatan, kita juga mungkin akan mengambil jeda sejenak untuk menambah bekal perjalanan. Tapi itu semua tak akan melenakan kita, karena kita tahu pasti, perjalanan belum sampai tujuan.

Hidup tak selamanya mudah dan datar, lurus seakan tanpa belokan. Ada kemudahan dalam hidup, ada kelapangan dan bahkan ketenangan. Tapi kita juga harus ingat, dalam hidup pula kita akan menjumpai kesulitan, kesempitan dan kesusahan. Laksana sebuah perjalanan panjang, mungkin di etape tertentu kita lurus, mudah dan tanpa penghalang, jangan senang dulu. Di etape berikutnya, bisa saja jurang terjal akan terbentang, atau lembah yang dalam bahkan tebing yang curam bisa saja kita temukan. Semuanya mungkin dalam perjalanan panjang kehidupan. Bila kita punya tujuan, apapun yang kita temui dalam rentang perjalanan dalam kehidupan, kita akan terus memiliki semangat dan motivasi yang sama. Di jalan lurus atau mendaki, di jalan datar atau rawa-rawa yang dalam, di tebing-tebing jurang atau di kedalaman lembah yang sunyi. Jiwa kita harus bisa terus hidup dalam seluruh dimensi yang kita lewati. Jiwa kita tak boleh menyerah, jika ada tahapan dalam kehidupan yang menapaki duka, harus mengurai deras air mata dan darah  kta. Bukankah ini semua  adalah sebuah tahapan yang mesti kita lewati.

Bila kesadaran itu telah tertanam dalam, terekam dalam memori otak kita dengan baik, maka dalam seluruh dimensi kehidupan kita, kita akan selalu optimis, termasuk saat merencanakan dan menjalani sesuatu dalam kehidupan. Baik dalam konteks kehidupan personal sebagai seorang hamba dan kehidupan kolektif sebagai bagian dari masyarakat maupun dari sebuah komunitas yang ada. Termasuk pula kehidupan sebagai bagian dari kerja di sebuah institusi atau sebuah organisasi. 

Dengan kematangan jiwa dan pemahaman yang dalam akan tujuan hidup. Seluruh proses rencana yang kita lakukan bisa dengan tenang kita jalani. Tokh kita sendiri meyakini, bahwa rencana ini sendiri bukan masuk dalam bab mengubah takdir, tapi lebih dalam sebuah kerangka ikhtiar. Bukan karena kita tidak percaya takdir dan ketentuan-Nya, tapi lebih sebagai sebuah bukti komitmen akan kesungguhan kita menapaki sebuah bagian kehidupan yang ada saat ini dan ke depan. Takdir domainnya Allah, kita hanya menjalankan apa yang kita tahu dan bisa dijalani. Begitu pula dengan hasilnya, kita mengusahakan dengan seluruh kemampuan dan kesempatan yang dimiliki, bagaimana akhirnya, sepanjang terukur dalam perspektif manusiawi, kita akan tempuh dan mengusahakannya sepenuh jiwa.

Dalam hal merencanakan, kita tentu saja mengetahui bahwa dibalik perencanaan yang bagaimanapun matang, rumit dan detailnya, tetap saja mengandung dua kemungkinan, berpeluang berhasil atau gagal. Berhasilnya pun, bisa bermacam-macam, bisa seluruhnya, separuh dari rencana atau sebagian kecil dari desain rencana yang disiapkan. Dalam konteks inilah yang namanya peluang dan resiko muncul dalam kehidupan manusia. Ibarat sisi mata uang, resiko dan peluang menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan. Saat terbentang peluang, kadang banyak manusia kurang menyadari bahwa setiap peluang yang akan kita tempuh masing-masingnya mengandung resiko sesuai dengan pilihan yang kita ambil. Bila dalam mensikapi peluang yang ada kita takut akan resikonya, maka dengan sendirinya berarti kita sedang tidak siap menerima peluang yang datang.  

Peluang dan resiko adalah sebagaimana siang dan malam, sebagaimana gelap dan terang, sebagaimana kehidupan dan kematian. Peluang dan resiko ada sebagai sebuah ketetapan alam, atau dalam bahasa keimanan disebut sunatullah. Laksana pasangan dalam kehidupan, keberadaannya saling melengkapi satu sama lainnya.

Dalam wujud lahirnya, batas peluang dan resiko ini amat nisbi. Bahkan seolah melekat satu sama lainnya. Lihat saja misalnya para nelayan yang melajukan perahu-perahu mereka menembus hempasan angin dan gelombang lautan. Mereka dengan menuju ke tengah laut akan berpeluang mendapatkan ikan yang besar-besar dan tentu saja harapannya bisa lebih banyak daripada menggunakan jala atau alat pancing di pinggir pantai. Saat yang sama, resikonya perahu mereka tenggelam, tak ada ikan yang berhasil di tangkap, atau dihempas gelombang besar dan badai amat terbuka lebar.

Para nelayan bukan tidak memperhitungkan tingginya gelombang, bukan pula menyengaja menyongsong kematian dengan mendatangi laut yang semakin ke tengah semakin dalam. Justeru para nelayan sedang berjuang mewujudkan peluang menjadi nyata. Dengan segala jerih payah dan pengorbanan, mereka berharap bisa untung dengan mendapat ikan yang banyak serta segera pulang ke darat dan bertemu keluarga mereka. Apakah para nelayan tidak takut mati? Tidak takut resiko yang demikian berat, bahkan menyebabkan nyawa mungkin saja berpisah dari raga? Bukan itu semua Jawabannya. Para  nelayan telah membuat ukuran sesuai pengetahuan, pengalaman dan penguasaan medan serta wawasan yang mereka miliki, bagaimana untuk bisa mengarungi dalamnya lautan serta ganasnya gelombang. Selain mereka umumnya telah terbiasa dengan lingkungan  lautan dan gelombangnya, mereka juga menyiasatinya dengan membuat perahu yang ada penyeimbangnya (biasanya semakin besar gelombang yang akan dihadapi, maka nelayan semakin membuat penyeimbang yang kokoh di kanan kiri perahu mereka).  Selain itu, mereka tentu saja membawa bekal sesuai waktu tertentu dengan kebutuhan mereka selama berada diperahu. Nun dibalik semua kesiapan ini, bukan berarti peluangnya bisa lebih besar. Peluang dan resiko yang ada tetap seimbang, alias berada di logika fifty-fifty. Akhir perjalanannya, mereka bisa pulang dengan mendapatkan sejumlah tangkapan ikan, atau bisa juga hanya nama yang kembali ke daratan. Mereka bisa untung saat mendapat ikan, bisa pula tenggelam di telan ganasnya ombak di lautan.

Laut yang dalam dan ombak yang ganas bagi mereka yang tak punya nyali adalah penghalang, sebaliknya bagi mereka yang bersikap pemberani, lautan di hadapan adalah peluang. Ada ikan-ikan yang banyak, dan bahkan jauh lebih besar-besar dibanding jika ditangkap atau di jala dipinggiran pantai, ada juga rumput laut, kekayaan alam lain atau bahkan mutiara yang berkilauan di dalam sana. Dan bagi nelayan, sederhana saja, lautan yang terbentang di hadapan mereka adalah sebuah peluang rizki. Peluang ini hampir setara dengan hamparan sawah dan ladang bagi para petani, mereka harus upayakan sepenuh hati untuk mengolahnya dan menjadikan peluang yang ada mampu menopang kebutuhan diri dan keluarganya sehari-hari. Apakah nelayan orang yang tidak takut atau pemberani? Mungkin iya, bisa juga tidak. Mereka menjalani itu semua dengan ikhlas, bahwa di lautan-lah rizki Allah telah siap menanti mereka. Apakah mereka tidak takut, puluhan bahkan mungkin telah ribuan orang pendahulu mereka mati tenggelam di lautan. Mereka juga pasti berpikir ke sana, apalagi jika tetangga, saudara atau teman mereka pastilah ada juga yang pernah  mengalami kesulitan di lautan lepas, hingga bahkan tak kembali selamanya. Mereka bukan tidak takut, bukan pula ingin mati konyol, tapi mereka dengan ikhlas menjalani ini sebagai sebuah peran dalam garis takdir kehidupan seseorang. Dengan tentu saja, mereka terus berikhtiar untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Umumnya dari posisi nelayan, mereka akan bisa meningkat menjadi juragan (pemilik perahu) , setelah itu pedagang ikan dan pengusaha hasil laut lainnya. Tapi hidup adalah proses, di setiap  titiknya terdapat resiko yang sama besarnya untuk bisa sukses. Inilah mengapa, ribuan nelayan berlayar dan ribuan lainnya tak kembali. Mereka menyadarinya dan menjalaninya sepenuh kesadaran itu.

Berikut ini tiga bagian penting dalam pembicaraan mengenai peluang dan resiko. Pertama berpikirlah terus tentang sebuah peluang, kedua amati sekitar kita dan raihlah peluang dan terakhir adalah Berdiskusilah dan dengarkan pendapat orang.

1.       Berpikirlah terus tentang sebuah peluang

Peluang ada di sekitar kita, bisa jadi ia ada dalam tumpukan buku-buku di rak buku kita, bisa juga ia ada di dapur bahkan kamar mandi kita. Kita mungkin mengenal bagaimana hukum newton salah satunya diciptakan saat sang penemu ada di kamar mandinya. Ia memenuhi bak mandi dan menceburkan badannya. Apa yang terjadi, dari sana ia merumuskan sesuatu yang berguna hingga masa saat ini. Dari sana pula dilahirkan ilmu dan teknologi perkapalan. Ternyata kapal yang amat berat, bahkan merupakan kendaraan paling besar di dunia mampu menyeberangi dalamnya lautan dan terhindar dari hempasan gelombang.

Peluang memang tidak mendatangi kita, kitalah yang harus berpikir bagaimana sebuah peluang tercipta. Saat di sebuah organisasi misalnya, ketika ada kebijakan tigh money, maka bagi yang tidak berpikir peluang, pastilah ia akan berkeluh kesah. Bahkan tak sadar ada yang bilang ke atasannya : “Saya sudah tidak mungkin mengurangi anggaran ini lagi, kalau sampai dipotong saya tidak bisa kerja”.

Semua kebijakan memang mengandung resiko. Ada dana tidak ada dana semuanya ada resikonya. Tapi bila kita terus fokus pada resiko, dijamin kita tak akan mampu menemukan peluang. Peluang sekali lagi hanya akan ditemukan oleh mereka yang berpikir. Dan resiko tetap saja ada bila yang berpikir inipun menemukan sebuah ide atau gagasan sesuatu. Yang pasti seluruh bagian dari hidup kita ini sendiri sudah merupakan sebuah resiko, bahkan kita mati-pun adalah sebuah resiko dari kehidupan.

Yang terjadi justeru di dunia ini, banyak orang-orang hebat yang menjadi luar biasa bukan karena mereka tak mengenal dan mengetahui resiko saat mereka berindak sesuatu yang besar. Mereka tidak menangisi keterbatasan dan mengeluh dengan sejumlah kekuarangan. Justeru mereka mengubah resiko menjadi sebuah peluang. Dan dengan peluang ini mereka tampil ke depan dan menjadi orang-orang yang berani berjuang dan mengatasi sejumlah resiko yang ada dalam kehidupannya. Salah satunya misalnya bila kita ingat kisah sahabat rosulullah, Bilal bin Rabbah. Bilal tahu bahwa ia seorang budak, dan ia tahu bagaimana konsekuensi saat itu bila seorang budak menentang tuannya. Apakah bilal berkecil hati, menyerah dan takluk dengan kondisi ini. Tidak. Bilal dengan ketetapan hati memilih dirinya menempuh resiko, hingga ajal yang mungkin saat itu akan jadi pertaruhannya. Ia menghitung bahwa kematian adalah harga bagi seorang pembangkang. Apa yang ia pilih, ia dengan senanghati memilih siksaan dari tuannya atas harga keimanan dan keyakinan dalam dadanya. Dan takdir pun berkehendak lain, ia dibebaskan Abu Bakar dan dari sana ia tampil menjadi sahabat utama di sisi Rosulullah  Muhammad SAW . bahkan di banyak riwayat dikisahkan, saat Bilal masih hidup saja Rosulullah dalam suatu  kesempatan mengabarkan bahwa suara terompah (sandal) Bilal sudah terdengar di Syurga. Subhanallah.

Semuanya tak  terkecuali punya resiko. Bahkan saat tulisan singkat ini akhirnya jadi dan bisa hadir memenuhi ruang khasanah kita semua. Ya resikonya tentu saja harus rela melahap sejumlah buku-buku yang ada, walau di dera rasa lelah dan letih setelah seharian berada di kantor dan diteruskan dengan fitness di sebuah gym. Melawan kantuk, melawan keinginan untuk istirahat di tengah keletihan dan melawan suasana malam yang sepi bukanlah hal yang nyaman, apalagi melihat orang-orang lain terbuai dalam indahnya impian masing-masing. Bayangkan kalau menyerah dari awal, kita semua tentu tidak bisa bersama dalam mendalami paparan yang ada. Setelah itu, kita semua tidak bisa memastikan apakah tulisan ini dibaca, dipahami bahkan dipikirkan bagi seseorang. Jawabannya belum tentu. Bisa saja tulisan ini diabaikan, dilewati bahkan mungkin saja dianggap tak berarti. Optimis saja, banyak sastrawan dan pemikir besar dijamannya adalah orang-orang yang karyanya ditolak bahkan dilarang. Jadi teruskan saja, mari ambil peluang untuk memperbesar skala dan kualitas dengan karya nyata, bukan dengan kata-kata sebatas retorika. Bukan pula janji-janji sebatas sebuah janji. Sesuatu memerlukan komitmen dan setiap penunaian komitmen butuh dilahirkan dalam karya nyata. Semoga.  

2.       Amati sekitar kita dan raihlah peluang

Untuk bisa menemukan peluang juga ternyata tidak gampang. Bagi mereka yang terbatas waktunya (atau mungkin malas memikirkannya) memang akan mengalami kendala. Apalagi  bila “radar” hati dan perasaannya jarang dilatih kepekaannya. Ia hanya akan menemukan peristiwa demi peristiwa dalam kerangka sebuah momentum saja. Tak ada pengaruh, tak ada analisa. Biasa saja. Hari berganti hari, pekan dan bulan berubah bahkan tahun pun berganti hanya akan dimaknai sebagai pergantian waktu saja.

Kalau sudah begitu,  siapapun akan mendapatkan sedikit sekali peluang, bahkan mungkin akan meloloskannya sama sekali. Peluang yang ada hanya akan berada dalam dataran formal dan artifisial. Tanpa makna apalagi kedalaman esensi. Sudah begitu, kapasitas menghitungnya-pun bisa jadi malah terjebak dalam pragmatisme hitung-hitungan matematis. Resiko yang tergambar dalam warna hitam putih untung rugi. Padahal dalam dimensi kehidupan, untung besar dari sesuatu yang tidak jelas adalah sesuatu yang membahayakan. Karena disamping tidak sesuai dengan sunnah kauniyah juga beresiko sebagai sebuah jebakan. Hidup bukan didasarkan pada hitung-hitungan untung rugi semata, hidup juga bukan disandarkan pada kemampuan spekulasi dalam mengambil sebuah keputusan. Hidup adalah bertemunya ikhtiar dan takdir. Sejauhmana ikhtiar, sejauh itu pula kemungkinan nanti takdir kan mengiringi. Seperti seorang yang berikhtiar menjadi sarjana, dengan kuliah dan menuntaskan seluruh persyaratan kesarjanaannya, ia bisa saja jadi sarjana sesuai takdirnya. Atau bisa pula tidak. Ia hanya mengusahakan. Titik. Karena bisa saja setelah seluruh persyaratan telah lengkap, takdir-Nya berkata lain. Bisa jadi dalam perjalanan menuju wisuda sarjananya, saat itu pula umurnya berakhir.

3.       Berdiskusilah dan dengarkan pendapat orang

Berdiskusi pada dasarnya bukan semata-mata melatih konstruksi berpikir kita. Berdiskusi pada maknanya yang lebih dalam adalah bagaimana kita menempatkan secara tepat dan proporsional posisi kita di tengah pihak lain. Diskusi ada pada kesetaraan posisi. Dalam diskusi kita juga harus mampu mengelola rangkaian pemikiran kita dengan baik. Dan itu terwujud dalam sistematika dan susunan kalimat yang kita sampaikan. Di samping harus baik, tentu saja harus ada kemampuan mengikuti teks dan konteks yang berkembang dalam sebuah proses diskusi yang terjadi. Di luar itu, ini yang barangkali agak susah adalah meningkatkan keterampilan mendengar dengan baik. Dalam diskusi dan apapun kegiatan mendengar yang kita ikuti, diperlukan kesabaran dan kemauan untuk merasa bahwa kita memang berada dalam fase mendengar.

Semakin kita mampu dan terampil mendengarkan apapun, maka dengan jernih kita akan mendapatkan banyak hal dari lingkungan sekitar kita. Mendengar yang baik sendiri bukan berarti mendengar tanpa manajemen. Artinya tidak setiap yang masuk ke pendengaran kita kita telan mentah-mentah. Kita harus pilah dan klasifikasikan, agar keterbatasan space yang ada bisa optimal. Dan tentu saja, bila tidak pandai mengelola alokasi yang ada, bisa-bisa keterbatasan ini akan menganggu sistem dan dinamika mendengar kita. Bisa saja nantinya akan menyebabkan keracunan serta polusi yang hebat lantaran tak kuasanya proses pemilahan yang dilakukan.

Dengan berdiskusi dan mendengar pendapat orang atau pihak lain, kita jadi bisa lebih kaya jiwa. Bisa dengan singkat belajar dan mengambil ekstrak pengalaman dari sejumlah kejadian dan peristiwa. Dengan kemampuan ini pula, kita jadi lebih mudah menimbang sejumlah perkara yang kita hadapi. Dengan sendirinya kita punya kesempatan yang luas pula untuk mempertimbangkan sejumlah resiko dan peluang yang terjadi tanpa terburu-buru dan terkejar kesempitan waktu pemilahan. Dengan kemampuan mendengar pula, segala sesuatu seakan terlihat dan tergambar jelas dan jernih saat akan diputuskan.

Wallahu’alam bi showwab.

Condet menjelang malam, 31 Januari 2011

Nana Sudiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar