Kamis, 10 Februari 2011

Karakter Kepemimpinan Vs Ambisi Kekuasaan

Suatu ketika ada seorang pemimpin yang tersinggung dengan ulah salah satu anak buahnya, ia sambil bertolak pinggang dan dengan tangan menunjuk-nunjuk serta mimik terlihat amat marah berkata dengan lantang : “lu jangan macam-macam ya di sini, akan gue buat lu sengsara. Lu juga akan gue buat kelaparan bila target lu tidak terselesaikan !”.

***

Pemimpin bukanlah dewa, apalagi seorang Tuhan. Anak buah bisa benar, bisa juga salah demikian pula para pemimpin. Pemimpin sesungguhnya secara sederhana berkaitan dengan mandat atau amanah. Sampai kapan mandat ini akan berlaku, sampai disitulah kepemimpinan akan berlangsung. Dan pemimpin apapun, dimanapun dan dalam kondisi bagaimanapun, masalah kepemimpinan amat berhubungan dengan persoalan karakter. Kepemimpinan juga bisa lama atau sebentar, tergantung pemberi mandat dan yang punya kewenangan. Selain tentunya berkaitan dengan takdir dan suratan Tuhan.

Kembali ke soal karakter tadi, ternyata seorang pemimpin yang baik menurut sejumlah survey yang dilakukan memiliki persyaratan yang tidak sedikit. Di sejumlah survey yang ada digambarkan bahwa pemimpin yang ideal, yang nantinya akan meningkat menjadi pemimpin kharismatik adalah orang yang memiliki : kejujuran, bertanggungjawab, memberi inspirasi, rendah hati, berani, suka menolong, peduli, teliti, cermat, kreatif, cerdas, tenang dan sebagainya. Intinya perimpin adalah laksana malaikat yang turun ke bumi. Ia dipandang harus memiliki sejumlah kombinasi sifat yang baik. Di luar itu, dalam konteks tarbiyah (pendidikan Islam), pemimpin dipandang haruslah memiliki 4 karakter utama, yakni : sebagai pembimbing spiritual (syaikh), sebagai guru, sebagai orang tua dan sebagai teman (sahabat). Dari sejumlah penjelasan yang ada, ternyata tidak mudah menjadi pemimpin yang baik. Apalagi pemimpin kharismatik.   

***

Max Weber, seorang sosiologi adalah ilmuwan pertama yang membahas kepemimpinan kharismatik. Yang mendefinisikan karisma (yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti “anugerah”) sebagai suatu sifat tertentu dari seseorang, yang membedakan mereka dari orang kebanyakan dan biasanya dipandang sebagai kemampuan atau kualitas supernatural, manusia super, atau paling tidak punya daya istimewa. Weber berpendapat bahwa kepemimpinan karismatik merupakan salah satu jenis otoritas yang ideal.

Peneliti pertama yang membahas kepemimpinan karismatik dalam kaitannya dengan Perilaku Organisasi adalah Robert House. Menurut teori kepemimpinan kharismatik (charismatic leadership theory) House, para pengikut memandang sebagai sikap heroik atau kepemimpinan yang luar biasa saat mengamati perilaku tertentu. Sudah ada beberapa studi yang berusaha mengidentifikasi karakteristik-karakteristik dari pemimpin yang karismatik. Salah satu telaah literature yang paling bagus menunjukkan adanya empat karakteristik yaitu, (1) visi dan artikulasi. Memilki visi, yang dinyatakan sebagai tujuan ideal, yang menganggap bahwa masa depan lebih baik daripada status quo; dan mampu mengklarifikasi pentingnya visi yang bisa dipahami orang lain. (2) risiko pribadi. Bersedia mengambil risiko pribadi yang tinggi, mengeluarkan biaya besar, dan berkorban untuk mencapai visi tersebut. (3) sensitif, dengan kebutuhan bawahan. Menerima kemampuan orang lain dan bertanggung jawab atas kebutuhan serta perasaan mereka. (4) perilaku yang tidak konvensional. Memilki perilaku yang dianggap baru dan berlawanan dengan kebiasaan.

Pemimpin yang karismatik cenderung bersifat terbuka, percaya diri, dan memiliki tekad yang kuat untuk mencapai hasil. Meskipun beberapa orang beranggapan bahwa kharisma merupakan anugerah dan karenanya tidak bisa dipelajari, sebagian besar ahli percaya seseorang juga bisa dilatih untuk menampilkan perilaku yang kharismatik dan mendapat manfaat dari menjadi seseorang pemimpin yang kharismatik. Lagi pula, hanya karena kita mewarisi kecenderungan-kecerendungan tertentu, tidak berarti kita tidak dapat berubah. Beberapa orang pengarang mengatakan bahwa seseorang bisa belajar menjadi kharismatik dengan mengikuti proses yang terdiri atas tiga tahap.

Pertama, seseorang perlu mengembangkan aura kharisma dengan cara mempertahankan cara pandang yang optimis; menggunakan kesabaran sebagai katalis untuk menghasilkan antusiasme; dan berkomunikasi dengan keseluruhan tubuh, bukan cuma dengan kata-kata. Kedua, seseorang menarik orang lain dengan cara menciptakan ikatan yang menginspirasi orang lain tersebut untuk mengikutinya. Ketiga, seseorang menyebarkan potensi kepada para pengikutnya dengan cara menyentuh emosi mereka.

Visi (vision) adalah strategi jangka panjang untuk mencapai tujuan atau serangkaian tujuan. Visi ini menberikan nuansa kontinuitas bagi para pengikut dengan cara menghubungkan keadaan saat ini dengan masa depan yang lebih baik bagi organisasi. Sebagai contoh, di Apple. Steve Jobs, pemimpin karismatik Apple Computer, menginvestasi perusahaan dengan cara menemukan pangsa pasar yang baru untuk alat music digital iPod. Visi Jobs adalah menciptakan alat pemutar musik yang bisa dibawa kemana pun dan dapat menyimpan data. Yakin dengan inovasi yang dilakukannya, Jobs telah menginspirasi timnya untuk merancang dan mengembangkan iPod dalam waktu kurang dari setahun. Sejak peluncuran iPod, Apple telah menjual lebih dari 10 juta alat pemutar music yang menambah $6,2 miliar ke pendapatan Apple.

Sebuah visi belumlah lengkap tanpa adanya pernyataan visi (vision statement), yaitu pernyataan formal visi atau misi organisasi. Pemimpin yang karismatik bisa menggunakan pernyataan visi untuk menanamkan tujuan dan sasaran ke benak para pengikutnya. PepsiCo, misalnya memilki pernyataan misi berikut ini dalam situs Web-nya : “untuk menghasilkan produk konsumen utama di dunia, perusahaan berfokus pada makanan dan minuman yang tepat, dan setiap hal yang kami lakukan, kami berjuang untuk tetap jujur, adil, dan penuh integritas”.

***

Kembali ke soal kepemimpinan, ternyata seorang pemimpin bukan hanya harus mampu, mau serta memiliki strategi. Ia juga harus amat baik terhadap dirinya serta orang lain. Termasuk pula pada anak buah atau staffnya masing-masing. Semakin baik seorang pemimpin, berarti semakin ia mengerti tentang makna dan arti kepemimpinan. Sebailknya semakin seorang pemimpin berbuat sewenang-wenang, sesungguhnya ia sedang mengarah pada kehancuran kepemimpinannya. Kepeminpinan itu tidak bisa berdirin sendiri dari fitrah yang dimiliki oleh jiwa setiap manusia. Semakin ia mendekati fitrah, semakin positif daya dukung lingkungan terhadap dirinya. Dan semakin ia bertolakbelakang dari fitrah, maka semakin cepat kepemimpinannya akan berakhir.

Kepemimpinan yang lahir dari amanah, kemudian diisi dengan kesewenang-wenangan, bukan saja akan melahirkan keputusasaan bagi yang dipimpin, malah saat yang sama akan membuat amat capek pemimpin itu sendiri. Ia harus bertangan besi untuk bisa meredam ketidakpuasan dan keguncangan batin dari barisan sakit hati yang tanpa sengaja muncul dan terus tumbuh. Kepemimpinan yang tidak dilandasi fitrah hanya akan memancing sejumlah ketidakefektifan dan kecemasan yang terus membayangi sebuah organisasi.

Jadi, memang tidak mudah menjadi pemimpin yang ideal. Amat banyak persyaratan dan kapasitas yang harus dipenuhi. Apalagi jika kita memaksakan diri untuk menerima amanah tersebut. Pemimpin yang lahir dari ketidakmampuan hanya akan melahirkan seorang pemimpin yang penuh ambisi. Meredam setiap perbedaan dengan otoritas dan kewenangan.

Lebih baik bagi kita saat ini, menjadi orang biasa dengan sifat-sifat kepemimpinan yang terus secara perlahan kita tumbuhkan. Kepemimpinan pada hakikatnya masalah waktu saja, bila seluruh ikhtiar kita memperbaiki diri telah terselesaikan dengan baik. Kepemimpinan tak perlu diperbutkan, tokh ia telah memiliki semacam “garis pasti” siapa yang jadi pemimpin dan siapa yang tidak. Bagi kita kepemimpinan harus diyakini sebagai sebuah amanah, bukan sebuah kekuasaan semata. Dengan logika ini, kita akan tetap tenang….setenang telaga di rerimbunan pohon-pohon yang hijau. Kita tidak perlu mengharap dan berpikir kapan akan jadi pemimpin…..yang harus kita lakukan kini adalah berusahalah dengan keseluruhan diri kita, dalam aspek manusiawi (ikhtiar) dengan dibarengi aspek ruhiyah. Perbaiki terus diri kita, sehingga bila kita telah menjadi orang terbaik yang ada, dengan sendirinya kita akan didatangi oleh amanah kepemimpinan yang ada.

Jangan pernah berharap matahari akan menunduk pada kita di siang hari,
Berusahalah dengan gigih agar kita jadi matahari bagi dunia, menerangi kegalauan, menghangatkan kesedihan dan kepiluan, serta memberi cahaya bagi jiwa-jiwa yang lupa.

Jangan pula kita berharap menikmati untaian lembut mawar nan mewangi,
Bila kekerdilan hati muncul dan tak berani melewati duri-duri yang mengelilingi mawar yang indah.

Bila masih sulit juga, maka jadilah rembulan bagi jelaga yang menutupi kegembiraan banyak orang. Buatlah tersenyum orang-orang terdekat kita dengan kebaikan-kebaikan kecil yang terus kita sebarkan. Jadilah pelita bagi anak-anak kita, isteri dan keluarga kita dari kegelapan jaman yang datang menimpa. Bila itu pun tidak pula bisa kita lakukan. Maka selamat jalan duhai jiwa, engkau telah mati sebelum kematian sesungguhnya datang menjelang. Innalilahi wa innailahi roji’un.

Wallahu’alam bishowwab,

Condet Menjelang Fajar,
Jum’at, 14 Januari 2011

Nana sudiana       


(Tulisan ini diinsiprasin dari Workshop “Self Awarenes” kemarin, Selasa, 12 Januari 2011 di Griya Alam Ciganjur, Depok Baru).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar