Kamis, 10 Februari 2011

Impian Vs Kenyataan


Entah mengapa, seakan tiba-tiba saja ada jeda yang terjadi antara suplemen  # 1 sampai  # 4 dengan suplemen # 5 sampai  #7. Sebenarnya sebagian besar tulisan selanjutnya telah siap. Namun, seakan ada tabir yang memisahkan dua bagian besar ini. Suplemen satu sampai empat yang berbicara tentang  jaringan, adaptasi, melawan kebosanan dan menghadapi kegagalan, seakan terasa hidup dalam dua hari ini. Hal ini amat terasa ketika hampir seluruh masukan, usulan  dan komentar yang ada sebagian menyatakan punya kedekatan dengan isi tulisan yang ada. Di luar itu, sejak dua hari ini sejumlah perstiwa seolah terjadi sambung menyambung dalam bingkai masing-masing suplemen.

Sehari yang lalu, ada orang baru yang dengan terbuka bercerita dengan terus terang bahwa yang membuat penasaran dirinya dengan organisasi ini bukan masalah pendapatan yang akan ia terima. Ia hanya penasaran, bagaimana mungkin lembaga ini bisa terus hidup sementara masalah-masalah mendasar yang ada di dalamnya seolah berkelindan tak jelas ujungnya. Ia berkata  : “secara manusiawi, mestinya kondisi yang ada sudah chaos, tapi kok ini tidak ya. Kalau seperti ini, saya yakin ini lebih karena faktor keshalehan individunya. Buktinya tetap saja orang-orang yang ada masih bisa tetap hidup dan malah tertawa-tawa gembira”.

Degh, betulkah ucapannya? Betulkah bahwa seharusnya setelah melewati usia organisasi yang lebih dari satu darsawarsa kehidupan organisasi ini seharusnya sudah mencapai, minimal mendekati kemapanan dan kematangan dalam sikap maupun perilaku organisasinya. Termasuk di dalamnya orang-orangnya.  Sebagai orang baru, yakni baru sembilan tahun di lembaga, jelas saja saya tidak terima. Saya bilang : “Lembaga ini bukan tidak tumbuh, tapi memang proses pertumbuhan setiap lembaga berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya. Lembaga ini punya cara tersendiri untuk menunjukan dinamika dan pertumbuhannya”.

Sambil berkata begitu, sesungguhnya saya secara sadar berpikir, benarkah begitu. Apakah pernyataan saya bukan sebuah apologi. Sebuah upaya untuk membesarkan hati sendiri. Sebuah jalan menenangkan keresahan dan kegalauan akan realiitas yang kadang membuat cemas.

Saya bukan ahli organisasi, bukan pula orang yang banyak tahu logika manajemen  yang baik, apalagi konsultan lembaga. Cuma selama bertahun-tahun di sejumlah lembaga, rasanya memang ada sejumlah persoalan yang memang menjadi pe er bersama yang harus segera di kerjakan.

Dalam sebuah kesempatan, pernah ada sebuah pertanyaan diajukan pada para manajer yang ada. Sebenarnya yang kita butuhkan saat ini kemampuan, kemauan atau strategi. Ternyata sebagian besar memilih strategi. Dalam benak mereka, terbayang bahwa strategi laksana pil antibiotik yang membantu menyembuhkan sejumlah masalah yang muncul di hadapan.

Strategi diyakini bisa menjadi jalan keluar dari persoalan yang muncul dan berkembang. Benarkah pangkal dari “ketidaknyamanan” ini berasal dari tidak tepatnya strategi yang dijalankan. Benarkah strategi-lah elemen yang paling harus disalahkan saat target-target yang dicanangkan tidak berhasil dilalui.

Ternyata, setelah diskusi berjalan, tergambarlah sejumlah hal yang menunjukan bahwa persoalan yang ada bukan berpangkal pada strategi yang dilakukan, namun justeru pada kemauan. Ya kemauan untuk berubah dan untuk memperbaiki dari kita semua, ternyata masih belum begitu baik dan memuaskan.

Kita semua seringkali merasa senang jika sudah berhasil menemukan kelemahan dan kekurangan seorang teman. Apalagi kalau ia atasan kita. Rasanya laksana makan es kelapa muda di tengah panasnya matahari Jakarta yang memanggang. Yang kita lakukan, kadang memperlebar informasi ini. Selanjutnya mengembangkan dan memperluas pengetahuan ini hingga menyebar ke seluruh ruang-ruang yang ada.

Kita kadang senang melihat teman kita salah, apalagi atasan kita. Rasanya segala kekesalan dan ketidakmampuanpun sirna di hati ini. Dengan bersorak kita langsung berkata dengan girang : “nah lho, apa gue bilang, benerkan. Makanya jadi orang yang baik”.

Sadar tidak sich sebenarnya, kita justeru sedang mengalami “gangguan jiwa’ yang paling rendah. Merasa punya teman saat kita salah. Merasa tinggi hati ketika yang lain kena sanksi. Inilah potret kita hari ini.

Bagaimana mungkin kita bicara visi, bicara strategi ke depan. Padahal kenyataan justeru menunjukan kemauan kita sendirilah yang rendah. Kita menginginkan menggapai bulan, sementara kaki kita berlumpur hitam. Bukan rembulan indah yang kan tergapai. Salah-salah malah kita tergelincir dan jatuh di tanah.

Wallahu’alam bi showwab.

Condet Raya menjelang Isya,
Kamis, 13 Januari 2011

Nana Sudiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar